Hati Yang Keras, oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam Hafizhahullah

Ikhwany fillah,
Berikut ini adalah saduran fawaid dari dars Syaikh Muhammad Al-Imam –hafizhahullah ta’ala- yang kedua.
Fawaid ini dinukil dari dars Tafsir As-Sa’dy yang beliau sampaikan terkait dengan ayat dalam surat Al-Baqarah ayat ke 74;

“Kemudian kalbu-kalbu kalian mengeras setelah itu, hingga dia seperti batu atau lebih keras (dari itu). Sesungguhnya diantara batu itu sungguh ada yang memancarkan aliran air dari padanya, dan diantara batu itu juga sungguh ada yang terbelah lalu keluar air darinya, dan diantara batu itu sungguh ada yang jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah tidaklah lalai dari apa yang kalian lakukan.” (Al-Baqarah: 74)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam –hafizhahullah ta’ala- berkata:
“Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini bahwa benda nyata yang paling keras adalah batu dan benda maknawi yang paling keras adalah kalbu (dalam bahasa kita: hati) yaitu kalbu yang keras. Yaitu kalbu yang sangat lalai, dari sisi tidak lagi tersentuh oleh wejangan, ibrah dan nasehat.
Dalam ayat ini dipermisalkan kalbu yang keras dengan sebuah batu. Kalbu yang keras adalah kalbu yang tidak bisa dilunakkan dengan dzikrullah, dzikrullah tidak lagi bermanfaat baginya, sehingga dia tetap seperti batu keras yang jika terkena air hujan air itu akanberpaling darinya dan batu itu tidak mau menampung sedikitpun dari air tersebut.
Allah Ta’ala berfirman;

“Apakah belum datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk kalbu-kalbu mereka mengingat Allah dan (tunduk) kepada kebenaran yang turun (kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelumnya, lalu berlalulah masa yang panjang lalu kalbu mereka menjadi keras. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasiq”. (Al-Hadid: 16)
Ayat ini menunjukkan bahwa kerasnya kalbu itu terjadi secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit.
Ayat ini (Al-Baqarah: 74) menunjukkan bahwa kalbu yang tetap mengeras itu lebih bahaya dari sebuah batu, kerena batu terkadang bisa diambil manfaatnya berupa terpancar darinya aliran sungai, atau ada yang bisa diambil manfaatnya berupa manfaat yang besar. Akan tetapi kalbu yang keras hilanglah darinya manfaat dan jadilah dharar dan kejelekannya itu sangat berbahaya bagi pemiliknya.
Dalam ayat ini ada seruan dan himbauan untuk berusaha memperbaiki kondisi kalbu ini. Sebagian ulama salaf berkata: ‘Perhatikan kalbumu pada tiga keadaan, jika engkau temukan maka itulah jika tidak maka tiada kalbu baginya: pertama ketika membaca Al-Qur’an, kedua ketika mengingat kematian, ketiga ketika mengingat neraka’. Maka perhatikan kalbu ketika berada pada tiga keadaan ini bergetar tersentuh atau tidak?”
Demikian nukilan dari fawaid yang diambil dari dars tafsir yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Al-Imam –hafzhahullah ta’ala-, yang beliau sampaikan pada tanggal 04 Agustus 2009 di Darul Hadits Ma’bar-Yaman. Wallahu A’lam bi shawab.
Kemudian beliau memberikan nasehat kepada santri beliau setelah dars tafsir ini, beliau berkata:
“Bahwa nasehat itu obat bagi para penuntut ilmu. Jika Allah ta’ala menghendaki kebaikan pada seseorang maka Allah ta’ala mudahkan baginya dengan adanya orang yang mengarahkannya dan menasehatinya sehingga dia tidak terjatuh pada banyak kesalahan. Adapun penuntut ilmu yang tidak peduli dengan nasehat maka dia tidak aman dari uqubah dari Allah ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Salamah bin Akwa’ yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, “Bahwa ada seorang laki-laki makan di sisi Rasulullah dengan tangan kirinya, maka Rasulullah berkata padanya: ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’, dia berkata: ‘Aku tidak bisa’, Rasulullah berkata: ‘Kamu tidak bisa’, tiada yang menghalanginya untuk makan dengan tangan kanan kecuali sifat kibr (sombong) yang ada padanya, maka dia tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya”.
Maka barang siapa tidak mau menerima nasehat bahwa Allah ta’ala berfirman demikian, atau Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda demikian, atau bahwa adab syar’i adalah demikian maka dia tidak aman dari makar Allah ta’ala dan dari hukuman Allah ta’ala.
Demikia nukilan nasehat ini semoga menjadi pengingat bagi kita untuk mengkoreksi diri. Wallahu a’lam bi shawab.

Dikirim via email oleh ‘Umar Al-Indunisy (Ma’bar / Yaman)

Sumber:

http://www.darussalaf.or.id/

http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=1731

Tinggalkan komentar